Di Indonesia nama Pramoedya Ananta Toer selalu mengundang kontroversi. Berkali-kali ia “dibenamkan” dalam kehidupan penjara, tapi justru lahir sejumlah karya gemilang. Penjara jaman Orde
Lama dan Orde Baru dienyamnya berkali-kali. Terakhir penderitaannya di tempat pembuangan biadab yang dibentuk bangsanya sendiri
di Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979), dibalasnya dengan cara yang sangat beradab: menerbitkan sejumlah karya berkelas “sastra Nobel”. Begitu lah barangkali cara Pram mengajarkan kebajikan kepada bangsa yang turut dibentuknya pada 1945.
Lama dan Orde Baru dienyamnya berkali-kali. Terakhir penderitaannya di tempat pembuangan biadab yang dibentuk bangsanya sendiri
di Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979), dibalasnya dengan cara yang sangat beradab: menerbitkan sejumlah karya berkelas “sastra Nobel”. Begitu lah barangkali cara Pram mengajarkan kebajikan kepada bangsa yang turut dibentuknya pada 1945.
Siapa kah Pram sesungguhnya? Benar kah ia sejenis hantu, seperti halnya ajaran Komunisme, yang perlu dipelihara dan dilanggengkan oleh penguasa Orde Baru sebagai “musuh bangsa”? Benarkah Pram cuma orang yang ditakdirkan untuk selalu jadi “kurban” politik penguasa, baik Orde Lama mau pun Orde Baru? Siapa sebenarnya dia? Bagaimana pikiran-pikirannya? Bagaimana ia meracik tulisan-tulisannya yang kini telah diterjemahkan lebih dari 24 bahasa?
Pram adalah sebuah fenomena anomali dalam bingkai politik Orde baru. Ia ditekan, bahkan ia dibunuh berkali-kali, tak tampak satu pun kebencian pada bangsanya. Ketika ia harus makan bangkai tikus, cecak dan daging kuda yang terserang antrax, lamunannya justru melayang jauh ke jaman-jaman kegelapan sejarah bangsa Indonesia yang disembunyikan rapat-rapat oleh penguasa. Ia tak mengeluh, ia tak memaki. Kecintaannya pada manusia Indonesia yang tersingkir, terkucil, jadi obyek, tapi tetap berupaya terus eksis begitu tinggi. Ia mencintai kemanusiaan begitu dalam Kita bisa melihat hal ini dari sejumlah karyanya mulai dari Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga “tetralogi” Bumi Manusia.
Ia pernah disebut-sebut sebagai bunga Angkatan 45. Tapi kini, tak ada satu pun buku resmi di Indonesia yang mencatat namanya sebagai salah satu tokoh penting sastrawan Angkatan 45. Kenapa? Dalam wacana sastra Orde Baru, Pram -seperti juga jutaan tapol lain di Indonesia- dianggap tak pernah ada. Ia tak pernah lahir, bernafas apalagi berkarya di Indonesia. Bukan cuma itu, rumahnya pun boleh didudyuki secara sewenang-wenang, buku-bukunya boleh diambil dan dibakar. Ia betul-betul tak pernah ada.
Tapi itulah kehebatan Pram. Semakin ditiadakan, ia semakin ada. Ia justru eksis dalam ketiadaannya. Orang berebut membaca tulisan-tulisannya. Buku-buku karyanya yang selalu dilarang laris seperti kacang goreng. Berkali-kali namanya disebut-sebut sebagai calon pemenang Nobel. Sejumlah lembaga sastra internasional juga mengangkatnya sebagai anggota kehormatan sebagai penghormatan atas dedikasinya pada dunia sastra.
Siapakah Pram dan bagaimana karya-karya yang dihasilkannya? Buku ini merupakan sebuah rekaman atas manusia kelahiran Blora 72 tahun lalu yang bernama Pramodya Ananta Toer. Perjalanan hidupnya, meski sangat singkat, terekam cukup baik. Secara detil penulis buku ini mencoba merekonstruksi bangunan berpikir Pram mulai dari jaman Pra Lekra, Lekra, Ide Realisme Sosialis hingga karakteristik penokohan yang inheren dalam diri Nyai Ontosoroh dan Minke.
Sejumlah telaah kepustakaan dan argumentasi dikemukakan penulis untuk memisah-misahkan dan menganalisis pikiran Pram lewat karya-karyanya. Kemudian kepingan dan serpihan yang ada disusun kembali dalam bayangan manusia Pram beserta sejumlah pengalaman sejarah yang membentuk wataknya. Kesimpulan sang penulis: Pram adalah seorang humanis tulen, sebagaimana sosok Multatuli yang dikagumi Pram habis-habisan Dan yang lebih mengejutkan lagi: Pram ternyata jauh berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh rejim Orde Baru pada dirinya.
Buku ini sebetulnya adalah sebuah desertasi doktor dari sang penulisnya. Koh Young Hoon sendiri adalah orang Korea. Ia pernah belajar dan mengajar di Universitas Nasional. Desertasi yang dibuatnya selama 6 tahun sebetulnya direncanakan akan dipertahankan di salah satu univeritas di Jakarta, tapi tak ada satu pun akademikus Indonesia yang bersedia jadi promotor resminya. Akhirnya karya ini harus dipresentasikan Koh Young Hoon di Universitas Malaya, Malaysia pada 1993.
Si penulis juga melampirkan semua judul karya Pram. Baik buku yang telah diterbitkan mau pun yang belum, makala, artikel mau pun surat pribadi. Tak pelak lagi, penyusun buku ini dengan jeli berhasil mengamati setiap respon Pram dalam menanggapi perkembangan peradaban di sekitarnya yang selalu memunculkan “revolutionary hero” lewat pergulatan batin para tokoh fiksinya, yang samar antara ada dan tiada. Orang-orang yang kerap diidentifikasi kritikus sastra sebagai tokoh yang kaya dengan pengalaman kemanusiaan.